Berikut 13 keyakinan itu :
- Pembayaran belis sebagaipraktik (adat) positif;
- Pembayaran sirih pinang sebagaipraktik (adat) positif;
- Kuasapengambilan keputusan ada di tangan suami, bukan istri;
- Pendapatan dan asetperempuanadalah milik laki-laki;
- Pekerjaan rumahtangga dilakukan oleh perempuan, dan tabu lagi laki-laki;
- Pekerjaan rumahtangga dan pengasuhan anakdipandang sebelah mata, dan oleh karena itu tantangan yang dihadapi perempuan saat meninggalkan negara untuk bekerja di luar negeri juga diremehkan;
- Anakperempuan dan perempuan adalah yang harus disalahkan ketika mereka menjadi korban kekerasan seksual;
- Perempuanmemiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan seksual laki-laki;
- Laki-laki haruskuatdan berani, dan laki-laki yang meninggalkan keluarganya adalah laki-laki pemberani;
- 10. Saudara laki-laki selalu lebihdihormatidaripada saudara perempuan, dan saudara perempuan wajib membantu saudara laki-lakinya;
- Kerabat dekat dan kerabat jauh selalu dapatdipercaya (termasuk sebagaiperekrut pekerja migran);
- Perceraian bukanpilihan yang dapatdipertimbangkan, bahkan dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga yang parah;
- Perdagangan manusiadan kekerasandalam rumah tangga bukanlah prioritas para pemimpin gereja.
Baca Juga: Kapolri Tugaskan Sembilan Kapolda Baru Kembalikan Kepercayaan Masyarakat pada Polisi
Hasil penelitian Pater Agus bersama tim ini kemudian ditanggapi Pdt. Emmy Sahertian. Pada intinya, Emmy bilang, kekerasan berbasis gender dan perdagangan orang masih terjadi. Baik di dalam rumah (keluarga), di luar rumah (masyarakat, dunia kerja) maupun di tingkat negara dan gereja.
Bahkan, Emmy menegaskan, negara dan gereja yang seharusnya menjamin hak-hak warganegara dan memberikan perlindungan bagi perempuan korban kekerasan dan perdagangan orang, justru diabaikan. Sebaliknya, negara dan gereja justru menyalahkan perempuan.
Tanggapan Emmy ini disertai dengan contoh-contoh nyata dan kritis yang cukup menantang peserta untuk terlibat dalam mencegah, menangani dan memulihkan korban berbasis gender dan perdagangan orang.
Baca Juga: Tanggapan Sekda Belu Lucu dan Aneh
Peserta kemudian terlibat dalam diskusi kelompok dan pleno untuk mengeksplore masalah-masalah kekerasan berbasis gender dan perdagangan orang di daerah masing-masing.
Peserta juga dituntun Fasilitator seperti Veronika Ata atau Kak Tory, Cak Mulyadi dan Yanto Lasibobo dengan pertanyaan-pertanyaan kritis untuk mendalami persoalan-persoalan kekerasan berbasis gender dan perdagangan orang.
Workshop tersebut berlangsung di Hotel Kristal, Kupang, ibukota Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) selama lima hari terhitung Senin-Jumat 17-21 Oktober 2022.