Bangga! Ternyata Flores Timur Memiliki Pahlawan Pejuang Kemerdekaan, Ini Rekam Jejak Perjuangannya

- 3 April 2024, 20:59 WIB
Foto tempo dulu, Monumen Patung Pejuang Kemerdekaan Indonesia Herman Yoseph Fernandez di Kota Larantuka, Kelurahan Lokea, Kecamatan Larantuka, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur.
Foto tempo dulu, Monumen Patung Pejuang Kemerdekaan Indonesia Herman Yoseph Fernandez di Kota Larantuka, Kelurahan Lokea, Kecamatan Larantuka, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. /flores. nusabunga/

PR NTT - Jarang diketahui publik bahwa Kota Larantuka di ujung timur pulau Flores, Nusa Tenggara Timur yang terkenal akan wisata religi Katolik 'Semana Santa' serta keindahan alamnya dan memiliki dua pulau besar nan indah, ternyata di sisi lain memiliki tokoh pemuda pejuang kemerdekaan Indonesia yang berasal dari tentara pelajar yakni Herman Yoseph Fernandez.

Profil Singkat Herman Yoseph Fernandez

Herman Fernandez (1926-1948), merupakan anak Flores Timur yang lahir dan dibesarkan di Ende, seiring berjalannya waktu beliau melanjutkan studi di Muntilan, meski begitu dirinya terpaksa drop-out dari studinya dan menjadi tentara pelajar untuk membela bangsa dan negara dalam Revolusi Fisik (1945-1949) yang membuatnya gugur pada 1948 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara, Yogyakarta, bersama tokoh pahlawan lainnya semisal Jenderal Besar Soedirman.

Lahir dari keluarga yang sangat terdidik dan sering menggunakan bahasa pengantar Belanda di dalam rumah, si kecil Herman sudah mengerti dengan baik apa arti hidup dalam satu kebersamaan yang indah, bagaimana menghormati orang lain tanpa mempedulikan ras, suku, agama dan dan asal-usulnya.

Baca Juga: Mengulas Sejarah, Karakteristik, dan Tips Dekorasi Rumah Gaya Retro

Pemahaman ini kemudian terus dibawa ke Muntilan tatkala melanjutkan studinya di sana. Lantaran berasal dari keluarga terpelajar dengan ayah Markus Suban Fernandez yang lulusan sekolah di Tomohon dan ibu Fransiska Theresia Pransa Carvalho, lulusan OVO, maka si Herman kecil senantiasa mendapat pendidikan agama dan moral yang kuat.

Embrio ke-Indonesiaan

Dengan pendidikan yang baik dalam keluarga, praktis tidak ada kesulitan besar ketika melanjutkan studi di Muntilan. Bagi siswa baru seperti Herman Fermandez dan kawan-kawan, tinggal di Kolese Muntilan ini merupakan sebuah pengalaman baru lantaran yang datang ke sekolah ini berasal dari berbagai daerah dan etnis di Indonesia. Dengan usia sekitar 14-20 tahun mereka berbaur dalam satu kebersamaan tak peduli apakah kelompok itu Flores, Batak, Ambon atau Manado.

Ke-Indonesiaan mereka yang terbentuk dalam asrama ini bahkan jauh mendahului ke-Indonesiaan yang dilontarkan di majalah Siasat pada 22 Oktober 1950 dalam Surat Kepercayaan Gelanggang.

"Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat bagi kami adalah kumpulan campur-baur dari mana dunia baru yang sehat dapat dilahirkan."

Baca Juga: Bukan Cuma untuk Hiasan, Ini 16 Tanaman Gantung yang Cocok untuk Rumah Indoor dan Outdoor

Para pelajar ini jelas sadar bahwa ke-Indonesiaan mereka tidak semata-mata karena kulit mereka yang sawo matang, rambut mereka yang hitam atau tulang pelipisnya yang menjorok ke depan, tetapi lebih banyak ditunjang oleh apa yang diutarakan wujud pernyataan hati dan pikiran mereka sendiri.

Halaman:

Editor: Yustinus Boro Huko

Sumber: Pres Release


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini